Budi Pekerti
Budi pekerti adalah tingkah laku, akhlak, perangai,
atau watak (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara menurut Ki Hajar
Dewantara, budi pekerti adalah perpaduan antara gerak pikiran, perasaan, dan
kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Jika diberikan gambaran
sederhana, sosok orang yang berbudi pekerti adalah seseorang yang menunjukkan
perilaku baik terhadap orang lainnya.
Seberapa penting budi pekerti ditanamkan pada
sanubari anak didik, sehingga kelak akan menjadi manusia-manusia cerdas yang
berkepribadian luhur?. Ternyata sangat penting, maka Kemdikbud sendiri telah
menetapkan bahwa penerapan budi pekerti harus dimulai dari tingkat PAUD hingga
SMA/SMK. Dan jangan lupa, bahwa orang dewasa juga harus membenahi diri dengan
akhlak yang baik pula, agar sinkron antara ucapan dan perilaku.
Ki Hajar Dewantara berpendapat, bahwa budi pekerti
adalah perpaduan antara cipta (Kognitif) dan rasa (Afektif) sehingga
menghasilkan karsa (Psikomotorik). Budi pekerti merupakan kodrat setiap
manusia. Maka sebagai pendidik, perlu memahami kodrat tersebut dan mendampingi
tumbuh kembangnya kecakapan budi pekerti anak didik dalam proses pembelajaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita temukan
orang yang meludah di sembarang tempat, menyerobot antrian, mengemudikan motor
dengan suara yang memekakkan telinga. Seperti itulah beberapa contoh yang
disebut dengan budi pekerti buruk. Maka berikut ini adalah beberapa ciri dari
orang yang memiliki budi pekerti, yaitu:
Beriman
Orang yang berbudi pekerti, dapat dikenali dari sikap
dan perilaku yang menunjukkan kepatuhan dalam mengikuti perintah dan menjauhi
larangan agama. Hal ini dapat tercermin dari perilaku yang sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Jujur
Jujur adalah sifat yang menunjukkan kesesuaian sikap
antara perkataan dan perbuatan. Seseorang dikatakan jujur jika sikap dan
perilakunya sesuai dengan yang sebenar-benarnya, apa adanya, tidak ada
kebohongan.
Bertanggung jawab
Orang yang bertanggung jawab adalah amanah ketika
diberi beban/tugas tertentu, dan sanggup menerima segala resiko dari tindakan
yang diambil.
Berpikir matang
Pada umumnya, orang yang memiliki budi pekerti mampu
menilai secara objektif, bersedia dikritik, dan tidak terburu-buru mengambil
kesimpulan terhadap sesuatu. Karakter seperti ini dimiliki oleh orang yang
mampu mengelola emosi dengan baik, tidak memperturutkan hawa nafsu.
Adil
Adil artinya tidak berat sebelah, tidak
diskriminatif, dan berlaku sama untuk pihak manapun, tidak membenarkan yang
salah dan menyalahkan yang benar.
Pemaaf
Jika seseorang memiliki sifat pemaaf, tidak
mendendam, maka dia disebut memiliki budi pekerti. Bukanlah kebiasaan orang
terhormat untuk membalas dendam, sebab dendam dapat mendatangkan kebencian.
Pendidikan berkaitan erat dengan budi pekerti. Kita
mendidik siswa dengan pola pikir yang sudah terbawa dari keluarga
masing-masing. Maka, pola pikir siswa dapat berubah dari waktu ke waktu,
seiring dengan asupan didikan yang mereka terima, baik di sekolah maupun di
luar sekolah. Siswa dapat menumbuhkan kecakapan berpikir, jika didukung dengan
kondisi baik yang didapatkan di lingkungan belajarnya.
Peran penting pendidik dalam menumbuhkan kecakapan
berpikir tersebut, akan menuntun kecerdasan berpikir siswa. Siswa akan
mendengar dan melihat apa yang kita ucapkan, dan apa yang kita lakukan.
Sehingga mereka akan meniru apa yang kita lakukan, persis seperti anak usia 3-4
yang setiap hari berinteraksi dengan orang tua.
Sebagai guru/pendidik, sudah barang tentu kita akan
menemukan beragam watak di kelas. Kita berperan menemani proses belajar anak
didik, mendampingi tumbuhnya kecerdasan akal dan pikiran. Hal lain yang juga
kita lakukan adalah membantu siswa menemukan budi pekerti atau akhlak baiknya.
Sekaligus juga membantu mengendalikan akhlak yang kurang baik dan memperbaikinya.
Hal lain yang dapat dilakukan guru adalah menggali
potensi kecerdasan budi pekerti yang ada dalam diri siswa. Mereka harus dilatih
agar berani berpendapat, mengasah perasaan dan perilaku, memunculkan kehendak.
Dengan demikian, pendidik mampu memahami kodrat siswa sebagai individu yang
sadar mampu memikirkan, memahami, merasakan, berempati, berkehendak, dan
bertindak.
Jika pendidik sudah berperan sejauh ini, maka kelak,
siswa kita akan berefleksi mendapatkan pemahaman bermakna. Sehingga, mereka
menjadi manusia merdeka, berakal budi, yang mampu menunjukkan keberadaan dan
jati dirinya. Pertanyaannya, apakah kita sebagai pendidik telah memperhatikan
tumbuhnya kecerdasan budi pekerti atau watak murid dalam proses belajarnya?.
Teori Konvergensi dan Pengaruh Pendidikan
Seringkali kita menggeneralisir kemampuan siswa hanya
berdasarkan peringkat kelas. Anggapan kita bahwa siswa yang pintar akan mampu
memahami seluruh mata pelajaran, padahal faktanya berbeda. Saya pernah memiliki
siswa yang juara dua di kelas selama duduk di bangku SMA, dan berada di kelas
unggul (IPA 1). Tamat SMA, si anak malah memilih jurusan Psikologi, dan sukses
menjadi pembawa acara di kegiatan kampus, bahkan menjadi pemeran utama film
besutan tim kreatif sekolah. Artinya, si anak tersebut lebih tertarik pada
dunia ilmu sosial.
Benarkah sebagai pendidik kita lebih tahu apa yang
diinginkan anak didik?. Maka muncullah teori konvergensi yang terbagi atas
teori tabularasa dan teori negatif . Teori tabularasa berpendapat bahwa anak
adalah kertas kosong yang diisi dan ditulis oleh pendidik dengan pengetahuan
dan wawasan yang diinginkan oleh pendidik. Teori negative adalah anak ibarat
kertas yang sudah terisi penuh dengan berbagai macam coretan dan tulisan. Kedua
teori ini tidak diterima begitu saja oleh Ki Hajar Dewantara, namun beliau
memberi pandangan baru.
Pandangan baru yang disampaikan oleh Ki Hajar
Dewantara dikenal dengan teori konvergensi, yaitu pendekatan teori tabularasa
dan teori negative diintegrasikan. Kodrat manusia sebagai suatu kertas yang
sudah terisi dengan tulisan-tulisan yang samar dan belum jelas arti dan
maksudnya. Maka tugas pendidikan adalah membantu manusia atau individu untuk
dapat menebalkan dan memperjelas arti dan maksud tersebut dengan tuntunan
terbaik.
Ki Hajar Dewantara membagi budi pekerti menjadi dua,
yaitu bagian biologis dan bagian intelligible. Bagian biologis yang tidak
berubah adalah rasa takut, rasa malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egois, rasa
berani, dan seterusnya, tidak dapat berubah. Bagian intelligible adalah
kecakapan dan keterampilan pikiran, kemampuan menyerap pengetahuan, dapat
berubah karena pengaruh lingkungan dan Pendidikan, termasuk pengaruh
guru.Intelligible siswa dapat berubah dari ketidaktahuan menjadi tahu dan
sadar.
Pendidikan dapat mempengaruhi bagian intelligible dan
bagian biologis murid. Kita menyadari bahwa bagian biologis susah dihilangkan,
namun harus tetap optimis, karena dengan makin terasahnya bagian intelligible
mampu menutupi bahkan menghilangkan kelemahan pada bagian biologis. Sebab,
kecakapan budi pekerti siswa bertumbuh dan berkembang, sehingga mampu
mengendalikan dan menyamarkan sifat asli dan watak biologis. Seiring dengan
itu, bagian intelligible semakin menguat dan mampu mewujudkan kepribadian dan
budi pekerti yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar