Selalu Setia Memberikan Informasi Yang Terbaik

Selalu Setia Memberikan Informasi Yang Terbaik

Menciptakan Pendidikan yang Mengantarkan Keselamatan dan Kebahagiaan Berdasarkan Gagasan Ki Hajar Dewantara

 


A. Mengantarkan murid selamat dan bahagia

Ketika orang tua mengantar dan menyerahkan anak ke sekolah, mereka berharap bahwa di tangan guru (Pihak sekolah) anaknya akan mendapatkan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Sekolah dianggap sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak mereka. Maka ketika anak bermasalah atau tidak mampu meraih prestasi seperti harapan orang tua, tudingan diarahkan ke pihak sekolah. Sebaliknya, sering juga kita dengan jika anak berprestasi, ada kecenderungan orang tua mengklaim bahwa si anak memang sudah memiliki "Gen pintar" dari orang tuanya. Kalau sudah begini, dimana titik temunya?.

Fungsi pendidikan untuk mengantarkan siswa selamat dan bahagia. Ketika guru menyampaikan materi pelajaran dengan metode ceramah saja, maka ada kemungkinan suasana belajar tertib, tanpa gangguan suara lainnya. Namun apakah siswa kita mampu menyerap pelajaran dengan baik dan nyaman dengan metode tersebut?. Zaman sudah berubah, dulu kuda gigit besi, sekarang kuda makan roti (Sekadar pemisalan). Perspektif pendidik tidak selalu sama dengan perspektif siswa.

Tidak jarang siswa merasakan kebalikan dari apa yang dirasakan oleh guru. Ketika guru merasa cocok dengan metode ceramah, maka ada siswa yang merasa bosan dan kurang tertarik. Guru tidak boleh membatasi sumber belajar yang digunakan oleh siswa, karena jika dibatasi/ditentukan, maka siswa merasa terkekang bahkan ketakutan. Hal seperti inilah yang tidak memerdekakan siswa.

Sebagai pendidik, sebaiknya tidak hanya memberikan pengetahuan dan informasi saja. Pendidik juga harus memberikan pemahaman tentang fungsi dan kegunaan materi pelajaran dalam kehidupan. Disamping itu, pendidik juga sebaiknya mampu memahami dan mengenali kekuatan kodrat anak. Dengan artian bahwa setiap anak dapat mengekspresikan dan membuat pemahamannya sendiri dengan cara yang berbeda.

Demikian halnya dalam melakukan penilaian, pendidik sebaiknya tidak hanya menggunakan satu jenis alat pengukuran lalu menyimpulkannya. Penilaian dapat dilakukan dengan alat pengukuran lainnya yang melibatkan siswa, untuk merefleksikan pemahaman dari pengalaman belajar dan evaluasi diri. Maka sesungguhnya fungsi pendidikan itu adalah mengantarkan siswa agar siap hidup dan memberikan kepercayaan bahwa di masa depan merekalah yang akan mengisi zamannya. Mereka tidak cukup hanya hidup untuk kepentingan dirinya, jangan sampai individualistik.

 

Di masa depan, anak didik kita akan berkontribusi untuk masyarakat dan lingkungan dimana dia berada. Bersama-sama mereka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup.

Jika harapan ini terwujud, maka fungsi Pendidikan akan berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara. Untuk itu, maka kita sebagai pendidik harus memahami beberapa hal, yaitu:

a.            Setiap siswa memiliki kodrat kekuatan/potensi-potensi yang berbeda

b.           Pendidikan hanyalah sebagai tuntunan

c.            Mendidik adalah menuntun siswa untuk selamat dan Bahagia

d.           Pendidik tidak dapat berkehendak atas kodrat kekuatan atau potensi siswa

e.           Pendidik dapat memberikan daya upaya maksimal untuk mengembangkan akal budi pekerti siswa

f.             Pendidik membantu mengantarkan siswa untuk merdeka atas dirinya sendiri untuk kehidupan dan penghidupannya, memelihara dan menjaga bangsa dan alamnya

Kemerdekaan siswa merupakan kunci pokok untuk mencapai tujuan pendidikan yang mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah praktik pembelajaran saat ini benar-benar mempersiapkan anak didik agar siap hidup dan mengisi zamannya?.

B. Menciptakan lingkungan pembelajaran terbaik murid

Ada sebuah pemahaman, jika semakin tinggi nilai angka yang diraih siswa, maka semakin tinggi pula tingkat kepintaran. Sebaliknya, jika semakin rendah nilai angka, maka semakin dianggap tidak pintar atau tidak cerdas. Kedua sisi berbeda tersebut dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa, hingga cenderung fokus pada upaya agar mendapatkan nilai tinggi dari guru. Sehingga, siswa akan bersaing dan berkompetisi dengan teman-temannya. 

Selain itu, sistem perangkingan kelas juga menjadi salah satu pengaruh motivasi belajar siswa. Jika penilaian dilakukan dengan keberpihakan pada siswa, tentulah membawa hasil yang baik. Namun jika guru belum memahami prinsip berpihak pada siswa, maka siswa yang berada pada ranking terbawah atau nilai terendah, akan merasa terpojok.

Jika kecenderungan untuk mengandalkan nilai ujian (Sumatif/evaluasi lainnya), tanpa didasari atas pemahaman tentang penilaian itu sendiri, bisa menjadi boomerang. Seyogyanyalah guru memperhatikan dan mengikuti proses demi proses yang dilalui siswa. Sehingga, penilaian tidak lagi melulu berdasarkan nilai ujian/sumatif. Seiring dengan proses yang dilalui siswa, maka guru juga dapat melakukan evaluasi dan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Hingga, guru mampu merefleksikan program pembelajaran yang disusun agar lebih baik.

Budaya yang selama ini kita lakukan adalah pemberian nilai dengan angka dan peringkat kelas, bisa dirubah dengan sistem penilaian dan apresiasi. Tujuannya adalah agar harkat dan martabat anak tetap terjaga. Penilaian atau pengukuran dimaksudkan untuk mengukur hasil atau dampak dari implementasi pembelajaran dari sudut pandang siswa. Sehingga, siswa sebagai pusat pembelajaran benar-benar dapat terwujud, tidak sebatas jargon semata.

 

 

 

 

 

 

Melatih dan Melatih Kecerdasan Budi Pekerti

 

Budi Pekerti

Budi pekerti adalah tingkah laku, akhlak, perangai, atau watak (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti adalah perpaduan antara gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Jika diberikan gambaran sederhana, sosok orang yang berbudi pekerti adalah seseorang yang menunjukkan perilaku baik terhadap orang lainnya.

Seberapa penting budi pekerti ditanamkan pada sanubari anak didik, sehingga kelak akan menjadi manusia-manusia cerdas yang berkepribadian luhur?. Ternyata sangat penting, maka Kemdikbud sendiri telah menetapkan bahwa penerapan budi pekerti harus dimulai dari tingkat PAUD hingga SMA/SMK. Dan jangan lupa, bahwa orang dewasa juga harus membenahi diri dengan akhlak yang baik pula, agar sinkron antara ucapan dan perilaku.

Ki Hajar Dewantara berpendapat, bahwa budi pekerti adalah perpaduan antara cipta (Kognitif) dan rasa (Afektif) sehingga menghasilkan karsa (Psikomotorik). Budi pekerti merupakan kodrat setiap manusia. Maka sebagai pendidik, perlu memahami kodrat tersebut dan mendampingi tumbuh kembangnya kecakapan budi pekerti anak didik dalam proses pembelajaran.

Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita temukan orang yang meludah di sembarang tempat, menyerobot antrian, mengemudikan motor dengan suara yang memekakkan telinga. Seperti itulah beberapa contoh yang disebut dengan budi pekerti buruk. Maka berikut ini adalah beberapa ciri dari orang yang memiliki budi pekerti, yaitu:

Beriman

Orang yang berbudi pekerti, dapat dikenali dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kepatuhan dalam mengikuti perintah dan menjauhi larangan agama. Hal ini dapat tercermin dari perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Jujur

Jujur adalah sifat yang menunjukkan kesesuaian sikap antara perkataan dan perbuatan. Seseorang dikatakan jujur jika sikap dan perilakunya sesuai dengan yang sebenar-benarnya, apa adanya, tidak ada kebohongan.

Bertanggung jawab

Orang yang bertanggung jawab adalah amanah ketika diberi beban/tugas tertentu, dan sanggup menerima segala resiko dari tindakan yang diambil.

Berpikir matang

Pada umumnya, orang yang memiliki budi pekerti mampu menilai secara objektif, bersedia dikritik, dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan terhadap sesuatu. Karakter seperti ini dimiliki oleh orang yang mampu mengelola emosi dengan baik, tidak memperturutkan hawa nafsu.

Adil

Adil artinya tidak berat sebelah, tidak diskriminatif, dan berlaku sama untuk pihak manapun, tidak membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

Pemaaf

Jika seseorang memiliki sifat pemaaf, tidak mendendam, maka dia disebut memiliki budi pekerti. Bukanlah kebiasaan orang terhormat untuk membalas dendam, sebab dendam dapat mendatangkan kebencian.

 

Pendidikan berkaitan erat dengan budi pekerti. Kita mendidik siswa dengan pola pikir yang sudah terbawa dari keluarga masing-masing. Maka, pola pikir siswa dapat berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan asupan didikan yang mereka terima, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Siswa dapat menumbuhkan kecakapan berpikir, jika didukung dengan kondisi baik yang didapatkan di lingkungan belajarnya.

Peran penting pendidik dalam menumbuhkan kecakapan berpikir tersebut, akan menuntun kecerdasan berpikir siswa. Siswa akan mendengar dan melihat apa yang kita ucapkan, dan apa yang kita lakukan. Sehingga mereka akan meniru apa yang kita lakukan, persis seperti anak usia 3-4 yang setiap hari berinteraksi dengan orang tua.

Sebagai guru/pendidik, sudah barang tentu kita akan menemukan beragam watak di kelas. Kita berperan menemani proses belajar anak didik, mendampingi tumbuhnya kecerdasan akal dan pikiran. Hal lain yang juga kita lakukan adalah membantu siswa menemukan budi pekerti atau akhlak baiknya. Sekaligus juga membantu mengendalikan akhlak yang kurang baik dan memperbaikinya.

Hal lain yang dapat dilakukan guru adalah menggali potensi kecerdasan budi pekerti yang ada dalam diri siswa. Mereka harus dilatih agar berani berpendapat, mengasah perasaan dan perilaku, memunculkan kehendak. Dengan demikian, pendidik mampu memahami kodrat siswa sebagai individu yang sadar mampu memikirkan, memahami, merasakan, berempati, berkehendak, dan bertindak.

Jika pendidik sudah berperan sejauh ini, maka kelak, siswa kita akan berefleksi mendapatkan pemahaman bermakna. Sehingga, mereka menjadi manusia merdeka, berakal budi, yang mampu menunjukkan keberadaan dan jati dirinya. Pertanyaannya, apakah kita sebagai pendidik telah memperhatikan tumbuhnya kecerdasan budi pekerti atau watak murid dalam proses belajarnya?.

Teori Konvergensi dan Pengaruh Pendidikan

Seringkali kita menggeneralisir kemampuan siswa hanya berdasarkan peringkat kelas. Anggapan kita bahwa siswa yang pintar akan mampu memahami seluruh mata pelajaran, padahal faktanya berbeda. Saya pernah memiliki siswa yang juara dua di kelas selama duduk di bangku SMA, dan berada di kelas unggul (IPA 1). Tamat SMA, si anak malah memilih jurusan Psikologi, dan sukses menjadi pembawa acara di kegiatan kampus, bahkan menjadi pemeran utama film besutan tim kreatif sekolah. Artinya, si anak tersebut lebih tertarik pada dunia ilmu sosial.

Benarkah sebagai pendidik kita lebih tahu apa yang diinginkan anak didik?. Maka muncullah teori konvergensi yang terbagi atas teori tabularasa dan teori negatif . Teori tabularasa berpendapat bahwa anak adalah kertas kosong yang diisi dan ditulis oleh pendidik dengan pengetahuan dan wawasan yang diinginkan oleh pendidik. Teori negative adalah anak ibarat kertas yang sudah terisi penuh dengan berbagai macam coretan dan tulisan. Kedua teori ini tidak diterima begitu saja oleh Ki Hajar Dewantara, namun beliau memberi pandangan baru.

Pandangan baru yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara dikenal dengan teori konvergensi, yaitu pendekatan teori tabularasa dan teori negative diintegrasikan. Kodrat manusia sebagai suatu kertas yang sudah terisi dengan tulisan-tulisan yang samar dan belum jelas arti dan maksudnya. Maka tugas pendidikan adalah membantu manusia atau individu untuk dapat menebalkan dan memperjelas arti dan maksud tersebut dengan tuntunan terbaik.

Ki Hajar Dewantara membagi budi pekerti menjadi dua, yaitu bagian biologis dan bagian intelligible. Bagian biologis yang tidak berubah adalah rasa takut, rasa malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egois, rasa berani, dan seterusnya, tidak dapat berubah. Bagian intelligible adalah kecakapan dan keterampilan pikiran, kemampuan menyerap pengetahuan, dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan Pendidikan, termasuk pengaruh guru.Intelligible siswa dapat berubah dari ketidaktahuan menjadi tahu dan sadar.

Pendidikan dapat mempengaruhi bagian intelligible dan bagian biologis murid. Kita menyadari bahwa bagian biologis susah dihilangkan, namun harus tetap optimis, karena dengan makin terasahnya bagian intelligible mampu menutupi bahkan menghilangkan kelemahan pada bagian biologis. Sebab, kecakapan budi pekerti siswa bertumbuh dan berkembang, sehingga mampu mengendalikan dan menyamarkan sifat asli dan watak biologis. Seiring dengan itu, bagian intelligible semakin menguat dan mampu mewujudkan kepribadian dan budi pekerti yang baik.

Mendidik dan Mengajar

 

1. Mendidik Menyeluruh

Pendidik dapat berupaya membangun dan menjaga lingkungan kondusif, yang lebih nyaman, menyenangkan, agar setiap murid dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya sebagai manusia.

Setiap murid memiliki kekuatan dalam dirinya dan memerlukan tuntunan orang dewasa agar murid semakin baik adabnya. Kita sebagai pendidik bertugas memberikan ruang yang luas bagi murid dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang. Pendidik mengusahakan kebudayaan Indonesia tetap ada dan menjadi pilar utama dalam memajukan pendidikan Nasional.

 

2. Pendidikan selama satu abad

Dulu sistem penilaian dan penghargaan terlalu berorientasi pada kecakapan kognitif. Ki Hadjar Dewantara menggagas perlunya pendidikan dengan sistem yang humanis dan transformatif dengan menjalankan sistem Among dalam pendidikan yang dikenal istilah Ing Ngarso Sung Tulodo Ing, Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Bangsa ini juga memerlukan pendidikan kultural yang berdasarkan garis bangsa dan budaya, menghargai proses belajar, merayakan setiap pencapaian belajar dan mengajar sesuai kompetensi.

Sebagai pendidik kita perlu menjaga dengan cara menyambungkan antara naluri, tradisi dan kontinuitas dengan masa kebudayaan Indonesia masa lampau.

Namun bukan berarti kita harus mengabaikan budaya negara lain, kita bisa menggunakan budaya luar dengan syarat tetap menjaga nilai kebudayaan Indonesia.

 

Mendampingi Murid dengan Utuh dan Menyeluruh Merdeka Belajar: Latihan pemahaman dan cerita reflektif

 


A. Materi Aktivitas “Kodrat Murid”

1. Kodrat Keadaan

Modul Mendampingi Murid dengan Utuh dan Menyeluruh terdiri dari beberapa materi. Kali ini kita akan mengulas materi kodrat keadaan agar kita dapat memahami kodrat keadaan pendidikan yang sesuai dengan zaman berdasarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Kodrat keadaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dasar pendidikan murid. Kodrat keadaan terdiri dari dua hal yaitu kodrat alam dan kodrat zaman.

Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwan segala perubahan yang terjadi pada murid dihubungkan dengan kodrat keadaan, baik alam maupun zaman. Lalu, bagaimana cara kita menghubungkan dasar pendidikan murid dengan kodrat alam dan kodrat zaman? Kodrat alam adalah dasar pendidikan murid yang berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan dimana mereka berada. Murid dengan kodrat alam perkotaan sejatinya dilihat sebagai bagian dari masyarakat perkotaan. Maka, pembelajaran yang diterima murid sebaiknya mampu membantu mendekatkannya dengan konteks atau kodrat alamiah bukan sebaliknya malah menjauhkannya.

Tidak jarang kita menjumpai guru membantu memberikan ilmu dan wawasan diluar konteks dimana murid tinggal dan hidup. Misalnya, mayoritas murid adalah anak petani karet, diberikan wawasan dan informasi bagaimana menjaga kelestarian dan ekosistem laut. Sebenarnya tidak apa-apa, mungkin saja murid akan mendapat informasi dan cara bagaimana menjaga kelestarian laut. Apakah cara dan informasi itu sesuai dengan kodrat alam murid? Oleh sebab itu, karena guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar murid maka, guru dapat membantu murid dengan memberikan pembelajaran kontekstual.

Guru berperan sebagai penghubung murid dengan sumber-sumber belajar yang ada disekitar murid atau di sekolah maupun dengan sumber-sumber belajar digital yang mengaitkan setiap materi dengan konteks di mana murid hidup. Misalnya, materi menjaga kelestarian alam, dikonteskan dengan merawat pohon karet agar produksi getahnya semakin baik kualitasnya dengan membersihkan gulma atau tanaman pengganggu pohon karet. Pembelajaran kontekstual dan peran guru sebagai penghubung sangat dibutuhkan murid karena itu akan membantu mereka menguatkan kekuatan-kekuatan kodratnya.

Sementara kodrat zaman adalah bagian dasar pendidikan murid yang berhubungan dengan isi dan irama. Isi dan irama pendidikan bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Muatan pendidikan dan cara belajar dikala kita sebagai murid pasti berbeda dengan zaman saat ini. Pendidikan setelah masa kemerdekaan tentu juga berbeda dengan pendidikan pada abad ke-21. Maka, kita pendidik bergegas beradaptasi terhadap kodrat zaman untuk membantu murid mencapai selamat dan bahagia.

Perubahan zaman merupakan keniscayaan yang tidak mungkin dihindari dan dicegah. Perubahan zaman pun akan datang sendiri tanpa diminta. Namun, banyak dari kita yang belum menyadari akan hal itu. Kenyamanan-kenyamanan yang dirasakan saat ini akan diselimuti kegelisahan-kegelisahan akibat perubahan zaman. Misalnya, kemajuan pesat teknologi membuat cara belajar dan berinteraksi murid juga berubah. Jika tidak kita siapkan dan beradaptasi dengan baik maka, murid-murid mungkin tidak akan mampu hidup berdampingan dengan perubahan zaman.

Contohnya, guru yang terbiasa mengajar dengan menggunakan metode utama ceramah, menyampaikan informasi-informasi yang sudah ada di mesin pencari atau digital, membuat murid memiliki kompetensi yang tidak relevan dan sesuai dengan keterampilan abad ke-21 yaitu berpikir kritis, kreatif, komunikasi, dan kolaborasi. Maka sebagai pendidik, kita juga dapat membantu memberikan pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan kecakapan tersebut.

Seiring dengan perubahan yang terjadi dalam pendidikan secara global, Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa pengaruh-pengaruh dari luar hendaknya tetap dipilah, mana yang sesuai dengan kearifan lokal, sosial, budaya Indonesia. Namun di era berlimpahnya informasi saat ini, kita pendidik tidak bisa membatasi, menolak, dan memilih informasi-informasi secara langsung. Pengaruh-pengaruh luar sangatlah banyak dan terus-menerus membanjiri halaman kita.

Cara merespon banyaknya pengaruh luar tersebutlah yang menjadi perhatian kita sebagai pendidik. Dengan begitu maka sebagai pendidik, kita juga dapat membantu memberikan pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan kecakapan tersebut. Dengan begitu banyaknya informasi yang datang, kita tidak bisa benar-benar menyaring mana yang diterima oleh murid. Karena ia bisa mendapatkan informasi dari mana saja. Yang dapat dilakukan pendidik adalah membantu anak untuk menemukan kecakapan berpikir kritis dalam menerima dan merespon informasi.

Penanaman budaya kearifan lokal yang logis dapat membantu murid menjadi bijak dalam kehidupannya. Jika kita dapat memegang kuat kearifan lokal budaya indonesia. Kita juga akan mampu merespon pengaruh- pengaruh luar dengan bijak. Sehingga adopsi muatan dan konten pengetahuan akan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya yang ada di Indonesia. Bahkan semakin menguatkannya menjadi kodrat alam dan kodrat zaman dalam mendidik murid-murid kita.

Untuk mewujudkan dan menjaga itu semua diperlukan prinsip-prinsip dalam melakukan perubahan. Ki Hadjar Dewantara menyebutnya sebagai Asas Tricon : Kontinyu, Konvergen, dan Konsentris. Kontinyu, kemajuan kebudayaan merupakan keharusan lanjutan langsung dari kebudayaan itu sendiri. Konvergensi kebudayaan menuju arah kesatuan kebudayaan dunia atau kemanusiaan. Konsentris kebudayaan harus mempunyai karakteristik dan sifat kepribadian sendiri sebagai pusatnya dalam lingkungan kebudayaan dunia atau kemanusiaan.

Maka dengan menggunakan asas tricon sebagai prinsip melakukan perubahan kebudayaan bangsa indonesia tidak akan tertinggal. Kebudayaan indonesia akan berjalan beriringan dengan kebudayaan lain dan memiliki karakter dan ciri khasnya sendiri. Mari kita refleksikan bersama: Apakah kita sudah membantu memberikan pembelajaran berdasarkan kodrat keadaan murid? Apa yang dapat kita lakukan sebagai pendidik agar kodrat keadaan murid dapat menuntun kekuatan kekuatan dan potensi pada murid? Selamat belajar Bapak dan Ibu Guru Hebat.

 

2. Kodrat Alam

Salam dan bahagia ibu dan bapak guru hebat. Selamat datang kembali di modul Mendampingi Murid dengan Utuh dan Menyeluruh. Kali ini kita akan meneruskan materi belajar tentang kodrat alam agar dapat memahami bahwa setiap murid adalah individu yang utuh dan unik berdasarkan tujuan dan asas pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

Kodrat alam merupakan bagian dari dasar pendidikan murid yang berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan tempat murid berada. Salah satu instrumen untuk pengembangannya adalah melalui pendidikan atau tuntunan. Kita sebagai pendidik dapat merencanakan pengembangan kemampuan berpikir murid agar akal budi murid terus berkembang sesuai kodrat alam nya. Melihat murid sebagai individu yang utuh, bagian dari masyarakat, serta lingkungannya menjadi keharusan bagi tumbuh dan hidupnya murid.

Kita tidak dapat memandang murid sebagai bagian yang terpisah dari lingkungannya. Proses tumbuh dan hidupnya murid sangatlah beragam. Potensi setiap anak berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks. Kodrat yang dimiliki setiap murid tidak sama. Setiap anak memiliki kekuatan kodratnya. Bahkan, anak kembar identik pun memiliki kodrat masing-masing. Oleh karenanya, murid sebagai individu yang unik yang berbeda satu dari yang lain harus mendapatkan tuntunan yang tepat sesuai dengan keunikannya. Sehingga murid dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan.

Seorang anak yang dilahirkan dengan kodrat alam perkotaan maka ia menjadi bagian dari alam masyarakat dan lingkungan perkotaan. Oleh karena itu pendidik sebaiknya dapat menuntun murid untuk menemukan konteks pembelajaran yang relevan terhadap dirinya dan lingkungan tempat mereka berada. Misalnya, murid yang hidup di daerah pesisir mendapat wawasan mengenai bahaya yang mengancam ekosistem laut dan melakukan penelitian bersama untuk menemukan berbagai cara merawat dan menjaga lautnya seperti menanam mangrove. Murid bisa mendapat pengetahuan akan bahaya sampah plastik jika dibuang ke laut dan mengenal jenis-jenis hewan dan tumbuhan yang ada di laut.

Kita pendidik sebaiknya membantu mendekatkan murid dengan konteks kehidupannya bukan sebaliknya menjauhkan mereka dari konteks kehidupannya. Begitu pula dengan potensi atau kekuatan yang ada pada murid. Ada murid yang memiliki kekuatan atau potensi pada bidang seni, ada juga murid yang memiliki potensi bahasa maka, kita sebagai pendidik perlu memiliki kepekaan dan kemampuan untuk mengidentifikasi keunikan yang ada pada setiap murid agar segala kodrat dan keunikannya mendapatkan tuntunan yang tepat dan dapat membantu mereka mencapai selamat dan bahagia.

Sebagai pendidik kita dapat menggunakan metode, strategi, dan teknik pembelajaran sesuai keunikan potensi masing-masing murid untuk membantu mereka mengembangkan kekuatan kodratnya. Dengan demikian murid akan merasa leluasa untuk mengeksplorasi potensinya dan menemukan pengalaman-pengalaman belajar yang bermakna. Contohnya, yang memiliki potensi seni diberi kesempatan atau ruang untuk menyelenggarakan pertunjukan seni dengan tema yang dikaitkan dengan peminatan murid atau disesuaikan dengan pembelajaran tertentu.

Dapat dibayangkan murid akan merasa senang, mereka akan aktif mencari informasi dan menyajikan pemahamannya dalam bentuk pertunjukan seni yang mereka sukai. Ki Hadjar Dewantara mengingatkan kita bahwa dalam melakukan pembaruan yang terpadu hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik kodrat alam maupun kodrat zaman.

Ibu dan bapak guru mari kita resapi bersama : Apakah kita sudah melihat murid sebagai individu yang utuh bagian dari alam semesta? Apakah kita sudah peka dan mampu menemukan keunikan dari setiap murid kita? Apakah kita sudah memberikan tuntunan yang sesuai dengan keunikan murid kita? dan yang paling penting Apakah pembelajaran yang kita rancang sesuai dengan kehendak murid dan mendekatkan murid dengan konteks kehidupan dan segala potensinya. Selamat belajar ibu dan bapak guru hebat.

3. Kodrat Zaman

Kali ini kita akan mengulas materi tentang kodrat zaman agar kita dapat memahami tujuan dan asas pendidikan sesuai zaman berdasarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan bergerak sangat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Kodrat zaman merupakan bagian dari dasar pendidikan murid yang berkaitan dengan isi dan irama.

Selain kodrat alam, Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan dalam melakukan pembaharuan yang terpadu hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik baik mengenai hidup diri pribadinya maupun kemasyarakatannya jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun pada zaman. Sementara itu segala bentuk isi dan irama yaitu cara mewujudkannya hidup dan penghidupannya hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas kehidupan kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Ki Hadjar Dewantara ingin mengingatkan kita para pendidik untuk menuntun murid mencapai kekuatan-kekuatan kodratnya sesuai dengan alam dan zaman menggunakan asas tricon yaitu kontinyu, konvergen, dan konsentris. Kontinyu, pendidik menuntun murid dengan perencanaan dan pengembangan secara berkesinambungan menyatu dengan alam masyarakat Indonesia untuk mewariskan peradaban. Konvergen, pendidik menuntun murid dengan pemikiran terbuka terhadap segala sumber belajar, mengambil praktek-praktek baik dari kebudayaan lain, dan menjadikan kebudayaan kita bagian dari alam universal. Konsentris, pendidik menuntun murid dengan berdasarkan kepribadian karakter dan budaya kita sendiri sebagai pusatnya.

Asas tricon diyakini mampu menghadapi derasnya arus perubahan kodrat zaman seperti abad ke-21 secara global. Pendidikan saat ini ditekankan untuk menuntun anak memiliki keterampilan abad ke-21 yaitu berpikir kritis dan solutif, kreatif dan inovatif, serta mampu berkomunikasi dan berkolaborasi. Meskipun demikian pengaruh pengaruh global harus disaring. Seleksi menggunakan kekuatan utama bangsa Indonesia yaitu kearifan local, sosial budaya sehingga isi dan irama pendidikan berupa konten atau muatan pengetahuan yang diadopsi selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya yang ada di Indonesia. Maka, cara mendidik pun harus sesuai dengan tuntutan zaman.

Cara belajar dan interaksi murid abad ke-21 tentu berbeda dengan murid di pertengahan abad ke-20 seperti apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantara “didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntunan alam dan zamannya”. Misalnya, guru membantu murid untuk melakukan refleksi diri sebagai proses mengenali dan melihat kembali potensi dirinya kemudian murid diajak untuk mengamati keadaan sekolah dan lingkungannya. Setelah itu murid menganalisis permasalahan dan potensi yang muncul dari hasil pengamatannya. Ini adalah contoh belajar berpikir kritis.

Guru kemudian mengajak murid untuk berkreasi, merespon potensi dan isu yang terkoneksi dengan dirinya melalui proses berproyek yang bisa mereka lakukan secara individu maupun berkelompok. Ini adalah bentuk belajar kreativitas dan kolaborasi. Lalu murid mengkomunikasikan karyanya melalui berbagai format presentasi seperti misalnya pameran sosialisasi atau seminar kepada publik atau audien yang akan terdampak dari karyanya. Ini adalah bentuk belajar komunikasi. Dengan pembelajaran tersebut, murid merasa lebih merdeka dan bertanggungjawab atas pengalaman belajarnya bukan karena tuntutan yang membelenggu kemerdekaannya.

Ibu dan bapak guru mari kita renungkan : Apakah kita sudah mendidik murid kita sesuai dengan kodrat jamannya? Apa yang dapat kita lakukan untuk menuntun mereka agar berdaya sesuai kodrat jamannya? Selamat belajar ibu dan bapak guru hebat salam dan bahagia

B. Materi Aktivitas “Trikon”

Kali ini kita akan mengulas materi tentang asas Trikon; kontinyu, konvergen, dan konsentris dalam pendidikan serta contoh penerapannya di dalam kelas agar kita dapat memahami tujuan dan asas pendidikan berdasarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara.

Pendidikan adalah suatu proses yang dinamis. Pendidikan terus berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi zaman dan juga kondisi murid. Jangan dibayangkan sistem pendidikan sebagai sebuah sistem besar yang hanya dipikirkan dan diurus oleh para pakar dan penentu kebijakan di pusat. Sekolah atau bahkan kelas juga merupakan suatu system pendidikan dengan ruang lingkup yang kecil namun merupakan ujung tombak berjalannya sistem pendidikan.

Setiap sekolah memiliki kondisi dan permasalahan masing-masing sehingga pengembangan satu sekolah dengan sekolah lain sangat beragam sesuai karakteristik lingkungannya. Misalnya, kondisi geografis Indonesia yang beragama mendorong proses pendidikan yang dinamis. Sekolah yang berada di lingkungan pantai dapat mengkontekstualkan proses pendidikannya sesuai dengan lingkungan pantai tempat murid tinggal seperti menanam pohon bakau untuk mencegah abrasi pantai. Begitu pula sekolah yang berada di pegunungan, guru dapat mengajak murid untuk menjaga pohon agar terhindar dari bahaya tanah longsor.

Dengan demikian guru memfasilitasi proses belajar murid sesuai dengan keadaan lingkungan murid dan potensi yang dimiliki. Sehingga murid dapat melihat hubungan antara dirinya dengan lingkungan, masalah, serta potensi yang terhubung pada dirinya dengan proses pendidikan yang berjalan sangat dinamis. Budaya, kebudayaan, atau cara hidup bangsa itu bersifat kontinyu; bersambung tak putus-putus. Dari zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan, perkembangan dan kemajuan kebudayaan serta cara hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru.

Proses pembelajaran sejatinya tidak pernah putus. Usaha sadar yang menikmati setiap proses belajar karena dilakukan sukarela. Kemauan belajar, rasa ingin tahu, dan motivasi internal dalam diri murid perlu distimulasi. Sehingga, akan melahirkan murid yang memiliki kemampuan pengaturan kegiatan belajarnya sendiri atau self-regulatory learning.

Ibu dan bapak guru, dalam pembelajaran lingkungan hidup, guru dapat mengajak murid berkegiatan di halaman dan lingkungan sekitar sekolah. Kemudian guru meminta murid untuk mengamati dan memberikan beberapa pertanyaan pemantik diskusi. Harapannya, murid akan menjawab dengan berbagai macam hal yang bisa ditemui secara langsung, seperti pohon-pohon, pot bunga, tempat sampah, sampah yang tertinggal di halaman sekolah, atau bahkan menceritakan pengalaman di lingkungan rumahnya masing-masing.

Proses dialog yang terjadi memberikan ruang kepada murid untuk mengekspresikan rasa yang ia miliki dan temukan. Kemudian jika ada murid yang merasa tidak tertarik dengan lingkungan sekolah yang sedang dikunjungi, guru bisa berdialog mengenai lingkungan seperti apa yang ingin murid kunjungi dan menarik untuknya. Guru memfasilitasi murid untuk menentukan tujuan apa yang ingin dipelajari, memantau proses pembelajaran yang dilalui, dan membimbing murid untuk melakukan refleksi terhadap pengalaman belajar yang telah dilalui murid agar ia dapat memahami hubungan dirinya dengan lingkungannya, peran dan tugasnya di dalam lingkungan tersebut, serta kontribusinya dalam menjaga lingkungan.

Apabila murid mampu memahami hubungan diri dan lingkungannya, ia dapat pula belajar memahami peran dan kontribusi dirinya terhadap lingkungan serta menindaklanjuti peran dan kontribusinya tersebut. Hal ini juga dapat mendorong terbentuknya kemampuan pengaturan belajar mandiri atau self-regulatory learning, Konvergen. Pengembangan yang dilakukan dapat mengambil dari berbagai sumber di luar, bahkan dari praktek pendidikan di luar negeri seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara ketika mempelajari berbagai praktek pendidikan dunia. Misalnya, Maria Montessori, Froebel, dan Rabindranath Tagore.

Dalam dunia pendidikan pun banyak system pendidikan yang masuk ke Indonesia tidak lantas kita terima mentah-mentah. Kita perlu mengolahnya dan hanya menerima yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara menggambarkan manusia sebagai titik kecil yang kemudian bersama dengan yang lain membentuk lingkaran besar atau keluarga, dan menjadi lingkaran yang lebih besar lagi atau organisasi. Pengembangan pendidikan yang dilakukan harus tetap berdasarkan kepribadian kita sendiri. Oleh karena itu meskipun Ki Hajar Dewantara menganjurkan kita untuk mempelajari kemajuan bangsa lain namun tetap semua itu ditempatkan secara konsentris dengan karakter budaya kita sebagai pusatnya.

Implementasi konsep trikon ; kontinyu, konvergen, dan konsentris; bisa kita amati atau bahkan kita refleksikan dari apa yang sudah terjadi dalam proses pembelajaran. Manajemen kelas yang mengatur berjalannya proses pembelajaran tentunya melalui sebuah perencanaan dan dilakukan secara terus- menerus sehingga pengelolaan perilaku, lingkungan, dan kurikulum berjalan dengan efektif. Konsisten dalam menjalankan manajemen kelas ini, salah satu contoh implementasi asas kontinu dalam pendidikan. Murid diberikan kemerdekaan untuk belajar, bertanya, dan mengembangkan potensinya.

Kesinambungan manajemen kelas yang konsisten memberikan ruang kepada murid untuk mengeksplorasi gagasan, ide, dan kreativitasnya. Seringkali pembelajaran STEAM ini dipahami sebagai pembelajaran menggunakan teknologi tinggi seperti robotic komputasi atau codding. Padahal, bisa diartikan lebih luas seperti teknologi fermentasi tempe, teknologi pewarnaan batik, ataupun teknologi pengawetan makanan, seperti pembuatan ikan asin atau ikan asap.

Dengan memahami konsep pembelajaran STEAM maka guru dapat menyesuaikan keinginan belajar murid dengan kondisi ketersediaan daya dukung untuk belajar dengan tetap menghadirkan nilai-nilai local. Meskipun metode pembelajaran dalam pendidikan bisa mengacu pada konsep manapun secara terbuka, tapi hal itu tetap harus dilakukan secara konsentris yaitu tetap mempertahankan jatidiri bangsa dan menjadi diri sendiri.

Mengenali dan Memahami Diri sebagai Pendidik

 

Sebagai Pendidik tentu sudah seharusnya mampu mengenali karakteristik dan kebutuhan murid. Akan tetapi hal yang paling mendasar juga harus dimulai dari diri sendiri yaitu mengenali kekuatan dan kelemahan diri.

Untuk mengawali dalam mengenali diri dan perannya sebagai seorang pendidik terlebih dahulu kita refleksi terkait bagaimana perjalanan kita sebagai pendidik. Mengapa memutuskan menjadi pendidik? Bagaimana perjalanan perjuangan sehingga akhirnya sampai pada profesi guru?

 Peran sebagai pendidik atau guru

Kita perlu terus belajar untuk terus belajar agar bisa menghantarkan murid-murid untuk berdaya dan menjadi manusia merdeka. Menurut Ki Hajar Dewantara, manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya bersandar pada kekuatan sendiri baik lahir maupun batin, tidak tergantung pada orang lain.

Jika kita mengharapkan murid-murid kita kelak menjadi pribadi yang mandiri dan merdeka, tentunya penting untuk mereka mengenali diri, berdaya untuk menentukan tujuan dan kebutuhan belajarnya yang relevan dan kontekstual terhadap diri dan lingkungannya.

Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam Dasar-dasar pendidikan, bahwa pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

Salah satu langkah awal kita sebagai pendidik adalah bagaimana memaknai dan menghayati pribadi kita sebagai manusia yang merdeka untuk terus belajar. Apa yang perlu kita selaraskan agar bisa menjadi pendidik yang relevan dengan konteks zaman?

Murid-murid kita memang sudah jauh berbeda dengan kita. Namun, mereka tetap butuh kehadiran sosok pendidik. Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara jika pendidik itu menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.

 

Refleksi:

Apa peran kita sebagai pendidik untuk dapat menuntun kodrat dari murid-murid kita?

Bagaimana kita bisa menjaga hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat murid-murid kita?