A. Mengantarkan murid selamat dan bahagia
Ketika orang tua mengantar dan menyerahkan anak ke
sekolah, mereka berharap bahwa di tangan guru (Pihak sekolah) anaknya akan
mendapatkan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Sekolah dianggap sebagai
satu-satunya pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak
mereka. Maka ketika anak bermasalah atau tidak mampu meraih prestasi seperti
harapan orang tua, tudingan diarahkan ke pihak sekolah. Sebaliknya, sering juga
kita dengan jika anak berprestasi, ada kecenderungan orang tua mengklaim bahwa
si anak memang sudah memiliki "Gen pintar" dari orang tuanya. Kalau
sudah begini, dimana titik temunya?.
Fungsi pendidikan untuk mengantarkan siswa selamat
dan bahagia. Ketika guru menyampaikan materi pelajaran dengan metode ceramah
saja, maka ada kemungkinan suasana belajar tertib, tanpa gangguan suara
lainnya. Namun apakah siswa kita mampu menyerap pelajaran dengan baik dan
nyaman dengan metode tersebut?. Zaman sudah berubah, dulu kuda gigit besi,
sekarang kuda makan roti (Sekadar pemisalan). Perspektif pendidik tidak selalu
sama dengan perspektif siswa.
Tidak jarang siswa merasakan kebalikan dari apa yang
dirasakan oleh guru. Ketika guru merasa cocok dengan metode ceramah, maka ada
siswa yang merasa bosan dan kurang tertarik. Guru tidak boleh membatasi sumber belajar
yang digunakan oleh siswa, karena jika dibatasi/ditentukan, maka siswa merasa
terkekang bahkan ketakutan. Hal seperti inilah yang tidak memerdekakan siswa.
Sebagai pendidik, sebaiknya tidak hanya memberikan
pengetahuan dan informasi saja. Pendidik juga harus memberikan pemahaman
tentang fungsi dan kegunaan materi pelajaran dalam kehidupan. Disamping itu,
pendidik juga sebaiknya mampu memahami dan mengenali kekuatan kodrat anak.
Dengan artian bahwa setiap anak dapat mengekspresikan dan membuat pemahamannya
sendiri dengan cara yang berbeda.
Demikian halnya dalam melakukan penilaian, pendidik
sebaiknya tidak hanya menggunakan satu jenis alat pengukuran lalu menyimpulkannya.
Penilaian dapat dilakukan dengan alat pengukuran lainnya yang melibatkan siswa,
untuk merefleksikan pemahaman dari pengalaman belajar dan evaluasi diri. Maka
sesungguhnya fungsi pendidikan itu adalah mengantarkan siswa agar siap hidup
dan memberikan kepercayaan bahwa di masa depan merekalah yang akan mengisi
zamannya. Mereka tidak cukup hanya hidup untuk kepentingan dirinya, jangan
sampai individualistik.
Di masa depan, anak didik kita akan berkontribusi
untuk masyarakat dan lingkungan dimana dia berada. Bersama-sama mereka akan
mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup.
Jika harapan ini terwujud, maka fungsi Pendidikan
akan berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Untuk itu, maka kita sebagai pendidik harus memahami beberapa hal, yaitu:
a.
Setiap siswa memiliki kodrat
kekuatan/potensi-potensi yang berbeda
b.
Pendidikan hanyalah sebagai tuntunan
c.
Mendidik adalah menuntun siswa untuk selamat dan
Bahagia
d.
Pendidik tidak dapat berkehendak atas kodrat
kekuatan atau potensi siswa
e.
Pendidik dapat memberikan daya upaya maksimal
untuk mengembangkan akal budi pekerti siswa
f.
Pendidik membantu mengantarkan siswa untuk
merdeka atas dirinya sendiri untuk kehidupan dan penghidupannya, memelihara dan
menjaga bangsa dan alamnya
Kemerdekaan siswa merupakan kunci pokok untuk
mencapai tujuan pendidikan yang mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan.
Pertanyaannya, apakah praktik pembelajaran saat ini benar-benar mempersiapkan
anak didik agar siap hidup dan mengisi zamannya?.
B. Menciptakan lingkungan pembelajaran terbaik murid
Ada sebuah pemahaman, jika semakin tinggi nilai angka
yang diraih siswa, maka semakin tinggi pula tingkat kepintaran. Sebaliknya,
jika semakin rendah nilai angka, maka semakin dianggap tidak pintar atau tidak
cerdas. Kedua sisi berbeda tersebut dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa,
hingga cenderung fokus pada upaya agar mendapatkan nilai tinggi dari guru.
Sehingga, siswa akan bersaing dan berkompetisi dengan teman-temannya.
Selain itu, sistem perangkingan kelas juga menjadi
salah satu pengaruh motivasi belajar siswa. Jika penilaian dilakukan dengan
keberpihakan pada siswa, tentulah membawa hasil yang baik. Namun jika guru
belum memahami prinsip berpihak pada siswa, maka siswa yang berada pada ranking
terbawah atau nilai terendah, akan merasa terpojok.
Jika kecenderungan untuk mengandalkan nilai ujian
(Sumatif/evaluasi lainnya), tanpa didasari atas pemahaman tentang penilaian itu
sendiri, bisa menjadi boomerang. Seyogyanyalah guru memperhatikan dan mengikuti
proses demi proses yang dilalui siswa. Sehingga, penilaian tidak lagi melulu
berdasarkan nilai ujian/sumatif. Seiring dengan proses yang dilalui siswa, maka
guru juga dapat melakukan evaluasi dan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran
yang dilakukan. Hingga, guru mampu merefleksikan program pembelajaran yang
disusun agar lebih baik.
Budaya yang selama ini kita lakukan adalah pemberian
nilai dengan angka dan peringkat kelas, bisa dirubah dengan sistem penilaian
dan apresiasi. Tujuannya adalah agar harkat dan martabat anak tetap terjaga.
Penilaian atau pengukuran dimaksudkan untuk mengukur hasil atau dampak dari
implementasi pembelajaran dari sudut pandang siswa. Sehingga, siswa sebagai
pusat pembelajaran benar-benar dapat terwujud, tidak sebatas jargon semata.