Selalu Setia Memberikan Informasi Yang Terbaik

Selalu Setia Memberikan Informasi Yang Terbaik

Menciptakan Pendidikan yang Mengantarkan Keselamatan dan Kebahagiaan Berdasarkan Gagasan Ki Hajar Dewantara

 


A. Mengantarkan murid selamat dan bahagia

Ketika orang tua mengantar dan menyerahkan anak ke sekolah, mereka berharap bahwa di tangan guru (Pihak sekolah) anaknya akan mendapatkan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Sekolah dianggap sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak mereka. Maka ketika anak bermasalah atau tidak mampu meraih prestasi seperti harapan orang tua, tudingan diarahkan ke pihak sekolah. Sebaliknya, sering juga kita dengan jika anak berprestasi, ada kecenderungan orang tua mengklaim bahwa si anak memang sudah memiliki "Gen pintar" dari orang tuanya. Kalau sudah begini, dimana titik temunya?.

Fungsi pendidikan untuk mengantarkan siswa selamat dan bahagia. Ketika guru menyampaikan materi pelajaran dengan metode ceramah saja, maka ada kemungkinan suasana belajar tertib, tanpa gangguan suara lainnya. Namun apakah siswa kita mampu menyerap pelajaran dengan baik dan nyaman dengan metode tersebut?. Zaman sudah berubah, dulu kuda gigit besi, sekarang kuda makan roti (Sekadar pemisalan). Perspektif pendidik tidak selalu sama dengan perspektif siswa.

Tidak jarang siswa merasakan kebalikan dari apa yang dirasakan oleh guru. Ketika guru merasa cocok dengan metode ceramah, maka ada siswa yang merasa bosan dan kurang tertarik. Guru tidak boleh membatasi sumber belajar yang digunakan oleh siswa, karena jika dibatasi/ditentukan, maka siswa merasa terkekang bahkan ketakutan. Hal seperti inilah yang tidak memerdekakan siswa.

Sebagai pendidik, sebaiknya tidak hanya memberikan pengetahuan dan informasi saja. Pendidik juga harus memberikan pemahaman tentang fungsi dan kegunaan materi pelajaran dalam kehidupan. Disamping itu, pendidik juga sebaiknya mampu memahami dan mengenali kekuatan kodrat anak. Dengan artian bahwa setiap anak dapat mengekspresikan dan membuat pemahamannya sendiri dengan cara yang berbeda.

Demikian halnya dalam melakukan penilaian, pendidik sebaiknya tidak hanya menggunakan satu jenis alat pengukuran lalu menyimpulkannya. Penilaian dapat dilakukan dengan alat pengukuran lainnya yang melibatkan siswa, untuk merefleksikan pemahaman dari pengalaman belajar dan evaluasi diri. Maka sesungguhnya fungsi pendidikan itu adalah mengantarkan siswa agar siap hidup dan memberikan kepercayaan bahwa di masa depan merekalah yang akan mengisi zamannya. Mereka tidak cukup hanya hidup untuk kepentingan dirinya, jangan sampai individualistik.

 

Di masa depan, anak didik kita akan berkontribusi untuk masyarakat dan lingkungan dimana dia berada. Bersama-sama mereka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup.

Jika harapan ini terwujud, maka fungsi Pendidikan akan berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara. Untuk itu, maka kita sebagai pendidik harus memahami beberapa hal, yaitu:

a.            Setiap siswa memiliki kodrat kekuatan/potensi-potensi yang berbeda

b.           Pendidikan hanyalah sebagai tuntunan

c.            Mendidik adalah menuntun siswa untuk selamat dan Bahagia

d.           Pendidik tidak dapat berkehendak atas kodrat kekuatan atau potensi siswa

e.           Pendidik dapat memberikan daya upaya maksimal untuk mengembangkan akal budi pekerti siswa

f.             Pendidik membantu mengantarkan siswa untuk merdeka atas dirinya sendiri untuk kehidupan dan penghidupannya, memelihara dan menjaga bangsa dan alamnya

Kemerdekaan siswa merupakan kunci pokok untuk mencapai tujuan pendidikan yang mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah praktik pembelajaran saat ini benar-benar mempersiapkan anak didik agar siap hidup dan mengisi zamannya?.

B. Menciptakan lingkungan pembelajaran terbaik murid

Ada sebuah pemahaman, jika semakin tinggi nilai angka yang diraih siswa, maka semakin tinggi pula tingkat kepintaran. Sebaliknya, jika semakin rendah nilai angka, maka semakin dianggap tidak pintar atau tidak cerdas. Kedua sisi berbeda tersebut dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa, hingga cenderung fokus pada upaya agar mendapatkan nilai tinggi dari guru. Sehingga, siswa akan bersaing dan berkompetisi dengan teman-temannya. 

Selain itu, sistem perangkingan kelas juga menjadi salah satu pengaruh motivasi belajar siswa. Jika penilaian dilakukan dengan keberpihakan pada siswa, tentulah membawa hasil yang baik. Namun jika guru belum memahami prinsip berpihak pada siswa, maka siswa yang berada pada ranking terbawah atau nilai terendah, akan merasa terpojok.

Jika kecenderungan untuk mengandalkan nilai ujian (Sumatif/evaluasi lainnya), tanpa didasari atas pemahaman tentang penilaian itu sendiri, bisa menjadi boomerang. Seyogyanyalah guru memperhatikan dan mengikuti proses demi proses yang dilalui siswa. Sehingga, penilaian tidak lagi melulu berdasarkan nilai ujian/sumatif. Seiring dengan proses yang dilalui siswa, maka guru juga dapat melakukan evaluasi dan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Hingga, guru mampu merefleksikan program pembelajaran yang disusun agar lebih baik.

Budaya yang selama ini kita lakukan adalah pemberian nilai dengan angka dan peringkat kelas, bisa dirubah dengan sistem penilaian dan apresiasi. Tujuannya adalah agar harkat dan martabat anak tetap terjaga. Penilaian atau pengukuran dimaksudkan untuk mengukur hasil atau dampak dari implementasi pembelajaran dari sudut pandang siswa. Sehingga, siswa sebagai pusat pembelajaran benar-benar dapat terwujud, tidak sebatas jargon semata.

 

 

 

 

 

 

Melatih dan Melatih Kecerdasan Budi Pekerti

 

Budi Pekerti

Budi pekerti adalah tingkah laku, akhlak, perangai, atau watak (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti adalah perpaduan antara gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Jika diberikan gambaran sederhana, sosok orang yang berbudi pekerti adalah seseorang yang menunjukkan perilaku baik terhadap orang lainnya.

Seberapa penting budi pekerti ditanamkan pada sanubari anak didik, sehingga kelak akan menjadi manusia-manusia cerdas yang berkepribadian luhur?. Ternyata sangat penting, maka Kemdikbud sendiri telah menetapkan bahwa penerapan budi pekerti harus dimulai dari tingkat PAUD hingga SMA/SMK. Dan jangan lupa, bahwa orang dewasa juga harus membenahi diri dengan akhlak yang baik pula, agar sinkron antara ucapan dan perilaku.

Ki Hajar Dewantara berpendapat, bahwa budi pekerti adalah perpaduan antara cipta (Kognitif) dan rasa (Afektif) sehingga menghasilkan karsa (Psikomotorik). Budi pekerti merupakan kodrat setiap manusia. Maka sebagai pendidik, perlu memahami kodrat tersebut dan mendampingi tumbuh kembangnya kecakapan budi pekerti anak didik dalam proses pembelajaran.

Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita temukan orang yang meludah di sembarang tempat, menyerobot antrian, mengemudikan motor dengan suara yang memekakkan telinga. Seperti itulah beberapa contoh yang disebut dengan budi pekerti buruk. Maka berikut ini adalah beberapa ciri dari orang yang memiliki budi pekerti, yaitu:

Beriman

Orang yang berbudi pekerti, dapat dikenali dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kepatuhan dalam mengikuti perintah dan menjauhi larangan agama. Hal ini dapat tercermin dari perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Jujur

Jujur adalah sifat yang menunjukkan kesesuaian sikap antara perkataan dan perbuatan. Seseorang dikatakan jujur jika sikap dan perilakunya sesuai dengan yang sebenar-benarnya, apa adanya, tidak ada kebohongan.

Bertanggung jawab

Orang yang bertanggung jawab adalah amanah ketika diberi beban/tugas tertentu, dan sanggup menerima segala resiko dari tindakan yang diambil.

Berpikir matang

Pada umumnya, orang yang memiliki budi pekerti mampu menilai secara objektif, bersedia dikritik, dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan terhadap sesuatu. Karakter seperti ini dimiliki oleh orang yang mampu mengelola emosi dengan baik, tidak memperturutkan hawa nafsu.

Adil

Adil artinya tidak berat sebelah, tidak diskriminatif, dan berlaku sama untuk pihak manapun, tidak membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

Pemaaf

Jika seseorang memiliki sifat pemaaf, tidak mendendam, maka dia disebut memiliki budi pekerti. Bukanlah kebiasaan orang terhormat untuk membalas dendam, sebab dendam dapat mendatangkan kebencian.

 

Pendidikan berkaitan erat dengan budi pekerti. Kita mendidik siswa dengan pola pikir yang sudah terbawa dari keluarga masing-masing. Maka, pola pikir siswa dapat berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan asupan didikan yang mereka terima, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Siswa dapat menumbuhkan kecakapan berpikir, jika didukung dengan kondisi baik yang didapatkan di lingkungan belajarnya.

Peran penting pendidik dalam menumbuhkan kecakapan berpikir tersebut, akan menuntun kecerdasan berpikir siswa. Siswa akan mendengar dan melihat apa yang kita ucapkan, dan apa yang kita lakukan. Sehingga mereka akan meniru apa yang kita lakukan, persis seperti anak usia 3-4 yang setiap hari berinteraksi dengan orang tua.

Sebagai guru/pendidik, sudah barang tentu kita akan menemukan beragam watak di kelas. Kita berperan menemani proses belajar anak didik, mendampingi tumbuhnya kecerdasan akal dan pikiran. Hal lain yang juga kita lakukan adalah membantu siswa menemukan budi pekerti atau akhlak baiknya. Sekaligus juga membantu mengendalikan akhlak yang kurang baik dan memperbaikinya.

Hal lain yang dapat dilakukan guru adalah menggali potensi kecerdasan budi pekerti yang ada dalam diri siswa. Mereka harus dilatih agar berani berpendapat, mengasah perasaan dan perilaku, memunculkan kehendak. Dengan demikian, pendidik mampu memahami kodrat siswa sebagai individu yang sadar mampu memikirkan, memahami, merasakan, berempati, berkehendak, dan bertindak.

Jika pendidik sudah berperan sejauh ini, maka kelak, siswa kita akan berefleksi mendapatkan pemahaman bermakna. Sehingga, mereka menjadi manusia merdeka, berakal budi, yang mampu menunjukkan keberadaan dan jati dirinya. Pertanyaannya, apakah kita sebagai pendidik telah memperhatikan tumbuhnya kecerdasan budi pekerti atau watak murid dalam proses belajarnya?.

Teori Konvergensi dan Pengaruh Pendidikan

Seringkali kita menggeneralisir kemampuan siswa hanya berdasarkan peringkat kelas. Anggapan kita bahwa siswa yang pintar akan mampu memahami seluruh mata pelajaran, padahal faktanya berbeda. Saya pernah memiliki siswa yang juara dua di kelas selama duduk di bangku SMA, dan berada di kelas unggul (IPA 1). Tamat SMA, si anak malah memilih jurusan Psikologi, dan sukses menjadi pembawa acara di kegiatan kampus, bahkan menjadi pemeran utama film besutan tim kreatif sekolah. Artinya, si anak tersebut lebih tertarik pada dunia ilmu sosial.

Benarkah sebagai pendidik kita lebih tahu apa yang diinginkan anak didik?. Maka muncullah teori konvergensi yang terbagi atas teori tabularasa dan teori negatif . Teori tabularasa berpendapat bahwa anak adalah kertas kosong yang diisi dan ditulis oleh pendidik dengan pengetahuan dan wawasan yang diinginkan oleh pendidik. Teori negative adalah anak ibarat kertas yang sudah terisi penuh dengan berbagai macam coretan dan tulisan. Kedua teori ini tidak diterima begitu saja oleh Ki Hajar Dewantara, namun beliau memberi pandangan baru.

Pandangan baru yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara dikenal dengan teori konvergensi, yaitu pendekatan teori tabularasa dan teori negative diintegrasikan. Kodrat manusia sebagai suatu kertas yang sudah terisi dengan tulisan-tulisan yang samar dan belum jelas arti dan maksudnya. Maka tugas pendidikan adalah membantu manusia atau individu untuk dapat menebalkan dan memperjelas arti dan maksud tersebut dengan tuntunan terbaik.

Ki Hajar Dewantara membagi budi pekerti menjadi dua, yaitu bagian biologis dan bagian intelligible. Bagian biologis yang tidak berubah adalah rasa takut, rasa malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egois, rasa berani, dan seterusnya, tidak dapat berubah. Bagian intelligible adalah kecakapan dan keterampilan pikiran, kemampuan menyerap pengetahuan, dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan Pendidikan, termasuk pengaruh guru.Intelligible siswa dapat berubah dari ketidaktahuan menjadi tahu dan sadar.

Pendidikan dapat mempengaruhi bagian intelligible dan bagian biologis murid. Kita menyadari bahwa bagian biologis susah dihilangkan, namun harus tetap optimis, karena dengan makin terasahnya bagian intelligible mampu menutupi bahkan menghilangkan kelemahan pada bagian biologis. Sebab, kecakapan budi pekerti siswa bertumbuh dan berkembang, sehingga mampu mengendalikan dan menyamarkan sifat asli dan watak biologis. Seiring dengan itu, bagian intelligible semakin menguat dan mampu mewujudkan kepribadian dan budi pekerti yang baik.